RSS

[THE SERIES] BAHASA LANGIT – Part 6 (END)

21 Feb

HAAAAIIIIII….. Kembali lagi disini, hanya untuk mengumumkan bahwa  naskah BAHASA LANGIT baru saja ditolak oleh penerbit besar T.T yah daripada sedih… mending di-post aja disini. i’ll wait for the comment! 😀 xoxo-Lola

 

…Ketika tiba-tiba dari dalam jalan di pertigaan yang sedang kulintasi, melaju sebuah truk jasa kurir dengan kecepatan tinggi. Aku pun baru tersadar ketika suara klakson mereka sudah benar-benar seperti berada di telingaku. Dan begitu menoleh, cahaya kedua lampu depan truk itu yang begitu menyilaukan mata adalah hal terakhir yang bisa kuingat. Refleks aku membanting setir, tapi aku lupa. Hal yang selalu diwanti-wanti ibu Megumi sejak tadi… Jalanan yang licin.

BRAKK!!

“Ki… bum? KIBUM!!”

BAHASA LANGIT – Part 6 [END]

(Part 1; Part 2; Part 3; Part 4; Part 5)

Written by: @lolita309

Starring: SJ’s Kim Kibum

Minakami Megumi/Hwang Minmi

f947bd6e1025c0_full

“KIBUM!!”

BRAK!! Pintu ruang rawat RS itu dibuka dengan keras seiring menerobosnya seorang pria berperawakan mungil yang terlihat begitu kalang-kabut menoleh kanan-kiri sebelum lekas menghampiri ranjang pasien begitu ia menemukannya.

“Ryo-chan!” Megumi refleks terbangun dari duduknya yang sejak kemarin juga tak henti memegangi tangan Kibum. Sejak operasinya selesai, sejak ia dipindahkan ke ruang rawat ini… tak sekalipun Megumi ingin melepaskannya. Kibum sampai seperti ini karenanya, ini semuanya karenanya…!

“Minmi!” Ryeowook segera menoleh pada suara yang (sepertinya) memanggilnya tersebut, orang yang sama dengan yang mengabarinya tentang Kibum ini. “Kenapa kalian bisa ada disini sih?? Tapi tunggu. Tadi… kamu memanggilku apa? Chan…?”

Megumi buru-buru membungkuk dalam, “Ini salahku, ini semua salahku… Maafin aku Ryo-chan, Kibum begini karena aku! Maaf, maaf!”

“Hah…? Oke, oke. Nggak apa-apa, sekali-kali Kibum juga perlu kok masuk RS begini. Tadi aku sudah bicara dengan dokternya, dan yang penting dia nggak kenapa-kenapa, serius. Masalahnya… Ini aku masih nggak ngerti, bukannya Kibum mencarimu ke Hawaii? Kenapa kalian malah disini?? Dan kenapa kamu memanggilku Ryo-chan? Cuma teman-teman SD-ku, itu juga di negara ini yang memanggilku begitu. Apa Kibum yang kasih tahu kamu?”

Megumi menggeleng, “Bukan.” katanya, seraya meraih sebuah ‘kacamata kuda’ dari dalam tas tangannya. Kacamatanya yang nyaman, karena secantik apapun dia dengan bantuan lensa kontak, di rumah ia tentu tak akan menggunakannya. Tetap kacamata ini, kacamata dengan tipe seperti ini yang menemaninya bahkan sejak ia masih SD… jati dirinya.

Perlahan, ia pun memakai kacamata tersebut dan menatap kembali kakak kembar sang pacar. “Kalau begini… apa kamu mengenaliku?”

Berpikir sebentar, Ryeowook akhirnya sukses menelengkan kepala, asli bingung, “Min… mi, kan?”

BRAKK!!

Pintu kembali dibuka keras yang berhasil membuat dua orang dalam kamar pasien itu melonjak kaget. Tamu kali ini ternyata adalah Saera yang terlihat ngos-ngosan. Sepertinya ia memang sejak awal tidak berangkat dengan Ryeowook makanya datang terpisah begini.

Tapi biarpun teriakan “OPPA!” tadinya sudah siap meluncur dari mulutnya, melihat penampakan seorang gadis berkacamata dalam kamar itu, kata-kata yang dikeluarkannya pun refleks berubah, “Megumi… oneechan? Megumi oneechan, deshou? (Kak… Megumi? Kak Megumi, kan?)”

Ryeowook sukses menganga dibuatnya. Akhirnya dia sadar…

Biarpun belum halnya dengan sang adik. Saera akhirnya malah jadi terus menyerocos heran sekaligus excited, terbukti dengan pelukannya sesegera mungkin pada sosok ‘Megumi’. “Oneechan, aku kangen! Kenapa bisa ada disini juga? Siapa yang kabarin kamu? Sendirian?”

Tapi hanya diam yang merebak di ruangan itu. Belum ada yang berani merespon rentetan pertanyaan dalam bahasa Jepang yang masih begitu fasih itu, baik Ryeowook maupun Megumi sendiri. Saera yang makin bingung menatap kedua orang itu bergantian, sebelum kembali memutuskan berbicara lagi pada ‘Megumi oneechan’-nya yang kedua tangannya masih erat ia genggam. Matanya berbinar, jelas, karena sejak kecil ia sudah menganggap Megumi sebagai kakak perempuannya sendiri, kakak perempuan kandung yang tak pernah ia punya.

“Oneechan datang sejak kapan? Apa dari tadi juga nggak ada orang? Harusnya ada, sih… Pacarnya Ki oniichan…” katanya, ragu di kalimat-kalimat akhir. Biarpun saat itu dirinya masih SD, tapi Saera tahu sekali betapa dulu Megumi menyukai kakak laki-lakinya itu. Dasar Kibum oppa nggak peka! gerutunya seringkali dalam hati. “…ya, Ki oniichan memang sudah punya pacar, dia yang mengabari kami semua untuk datang kesini—“

“Dia Minmi, Saera.”

Seketika pernyataan sinis Ryeowook membuat Saera beralih. Ia menatap sang kakak tak percaya, sebelum perlahan menolehkan lagi wajahnya untuk kembali melihat paras gadis di hadapannya. Nggak mungkin, kan… Megumi ya Megumi, bagaimana mungkin ia bisa menjadi Minmi? Wookie pasti sedang mengigau—

Biarpun sekali lagi, kebalikan dari yang tadi, sekali lagi kini Megumi berhasil mengejutkan kembali satu orang begitu ia melepas kacamatanya perlahan. Mencoba menatap Saera dengan lurus, gadis itu pun tersenyum ragu. “Senang bertemu kamu lagi… Se-chan. Bagaimana kabarmu sebulan ini?”

“Ng-Nggak mungkin…”

“Ternyata kamu pintar berakting, ya.” Suara sinis Ryeowook tiba-tiba kembali terdengar menusuk. Pria imut yang biasanya selalu ramah itu menyilangkan tangannya di depan dada seraya mendekat ke hadapan pacar (atau mantan?) sang adik kembar, menggantikan posisi si adik perempuan yang segera disingkirkannya dari situ.

Ditatapnya gadis yang hanya lebih pendek beberapa sentimeter darinya itu dengan tajam. Betapa seketika Ryeowook begitu membencinya. Gadis ini betul-betul penjelasan harfiah dari idiom ‘bermuka dua’, tega-teganya selama ini ia ternyata hanya mempermainkan Kibum yang mencintainya sepenuh hati?? Berpura-pura tak mengenalnya, memperkenalkan dirinya sebagai Minmi si Korea-Amerika, padahal dalam hatinya, dalam kalbu Megumi-nya, ia menertawakan kebodohan Kibum yang dengan segera tergila-gila padanya. Tak akan bisa hilang dari ingatan Ryeowook betapa si adik kembar yang biasanya selalu tenang dan datar selalu sukses kehilangan fokusnya tiap memiliki masalah sekecil apapun dengan ‘Minmi’. Sampai sekarang pun belum bisa ia lupa bagaimana mengenaskannya kondisi depresi Kibum saat Minmi meninggalkannya, sebelum akhirnya ia memutuskan mencarinya sendiri dengan pergi ke Hawaii. Dan sekarang, seakan belum puas dengan hanya membohongi dan meremukkan sisi-sisi terdalam sahabat masa kecilnya sendiri, gadis ini, wanita ini, juga berhasil menyakiti fisik luarnya? Membuatnya mengalami kecelakaan dan tak sadarkan diri seperti ini??

“…untuk apa, Minmi—oh, atau mungkin aku harus memanggilmu Megumi? Baiklah. Untuk apa, Megumi?? Untuk apa kamu melakukan ini semua? Untuk apa kamu membohongi kami? Apa salah Kibum padamu? Apa salah KAMI padamu??”

Merebak segera airmata Megumi ‘ditembak’ langsung seperti itu oleh seseorang, terlebih Ryeowook yang selama ini selalu begitu baik padanya, pada ‘Minmi’. Terlebih jika nanti ia mendengar kalau alasannya hanya karena ia sakit hati Kibum meninggalkannya dulu, mencampakkan MeguKi, meninggalkan mimpi mereka untuk dirinya sendiri. Hanya sebuah sakit hati anak SMP, tapi bisa membentuk orang lain dalam wujud ‘Hwang Minmi’. Ia monster! “Aku… aku…”

“Bilang sama aku: nggak cukup semua yang sudah ia lakukan, dan bahkan terima akibatnya hanya demi kamu sejak dulu?? Ah, tapi kurasa kamu juga nggak akan tahu. Tapi serius, aku marah sekali padamu, Megumi. Aku kecewa! Serius.”

Seperti orang bodoh, Megumi seakan sudah tidak mendengar lagi kalimat terakhir Ryeowook. Ia hanya peduli pada kalimat sebelumnya… “Apa… maksudmu? Apa yang Kibum lakukan untukku dan aku nggak tahu? Maksudnya apa?”

Mendengarnya, Ryeowook mendecak pelan, “Kamu nggak perlu tahu. Kibum pasti nggak suka kalau aku cerita ke kamu, lagipula bisa-bisa aku emosi lagi.” jawabnya cool. “Nah, sekarang, mumpung aku lagi nggak begitu emosi, silakan kamu pergi dari sini, deh.”

“Oppa!” rajuk Saera cepat, biarpun si kakak buru-buru memelototinya agar ia bungkam. Setelahnya, Ryeowook kembali menatap Megumi, seakan menyuruhnya benar-benar segera angkat kaki dari situ.

“Baik.” Akhirnya Megumi bersuara. Perlahan ia mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk untuk menatap Ryeowook sungguh-sungguh, “Tapi ceritakan padaku dulu tentang Kibum tadi.”

Kini Ryeowook memutar kedua bola matanya malas. Gadis ini banyak maunya sekali! “Oke. Tapi jangan menyesal karena merasa bersalah kalau sudah mendengarnya.” Ia memperingatkan. Megumi mengangguk… biarpun perlahan menelan ludahnya. Menyiapkan diri. Ryeowook memulai, “Menurutmu, kenapa Kibum nggak pernah menghubungi atau bermain ke Jepang lagi untuk menemuimu selama ini? Pasti kamu menerka-nerka; kami anak diplomat, mudah saja bagi kami pergi kemanapun di dunia ini. Tapi kenapa dia nggak melakukannya?”

Megumi diam.

Well, bukan nggak melakukannya. Dulu, demi kamu, hanya demi bersikeras pergi ke Jepang lagi untuk menemuimu, 10 tahun lalu Kibum harus kehilangan haknya untuk bisa ke luar negeri lagi. Ya, kepulangan kami dari Jepang dulu akhirnya berubah menjadi kali terakhir Kibum bisa menginjakkan kaki di negara lain, sampai 3 hari yang lalu. Dan itupun untuk mencarimu. Lagi. Aku muak sekali.”

“Kenapa Kibum bisa kehilang—”

“Ssshh, aku memang belum sampai situ, Nona. Tenang, hanya sebentar lagi. Aku juga nggak ada niat melihatmu lebih lama disini.” sergah Ryeowook sinis, sebelum kembali lagi pada cerita. “Jadi, Kibum kecil merasa bersalah karena dulu kami pulang ketika kamu sedang berlibur sehingga berniat menghubungimu. Tapi sialnya, satu-satunya buku catatan nomor telepon dan alamat teman-teman sekolah yang kami punya, yang di dalamnya ada nomor telepon dan alamatmu, ketinggalan begitu saja di Jepang. Kamu tahu betapa stresnya dia?”

“…Si bodoh itu, anak 12 tahun yang pendiam itu, hanya Tuhan yang tahu apa yang ia pikirkan. Ia terbiasa hanya menyimpan apapun dalam hati. Dan untuk kasusmu, kurasa ia sempat gila begitu nggak bisa menemukan cara untuk menghubungimu lagi waktu itu. Buktinya ia bahkan sampai merasa perlu mencongkel brankas ayahku hanya demi memperoleh uang untuk kembali ke Jepang, dan meminta maaf padamu!”

Ryeowook terdiam sebentar, menaikkan ujung bibirnya sinis melihat perubahan wajah Megumi. Sekarang kamu tahu apa yang adikku rasakan? Kembali menerawang, seperti mengingat-ingat apa yang terjadi dulu, ia pun melanjutkan, “Ayahku—jelas—marah besar. Beliau menghukumnya dengan membekukan paspornya sehingga nggak hanya ke Jepang, ia bahkan nggak akan bisa pergi ke negara manapun! Dan ironisnya, hukuman itu memang sukses menyiksanya. Tapi bukan pada kenyataan ia nggak akan pernah bisa ikut liburan ke luar negeri lagi… tapi pada fakta kalau dengan itu, ia telah kehilangan semua caranya untuk bisa menghubungimu dan meminta maaf telah pergi begitu saja!!”

DEG!! Sekejap jantung Minmi rasanya seperti dipukul oleh sebuah godam yang begitu besar. Sakit sekali. Jadi inikah yang sesungguhnya terjadi? Bukan hanya tak pernah melupakannya, ia yang selama ini begitu membenci Kibum karena merasa sahabat masa kecilnya itu menghilang begitu saja, pergi untuk dirinya sendiri, bahkan sama sekali tak pernah berusaha menghubunginya, ternyata semua itu salah… Kibum bukannya pergi karena ia egois dan ingin maju sendiri, tapi karena ia tak punya pilihan. Dan bukannya tak berusaha, ia BERUSAHA menghubunginya. Hanya sepertinya takdir selalu mempermainkannya… “T-Tapi dia bisa ke Hawaii, dan ke mari…?”

Si ikal Ryeowook kembali mendecak sinis, “Ah, ya. Aku luput menceritakan bagian itu. Ayahku hanya membekukan paspornya selama 10 tahun, sampai ia berusia 22, tepat 3 hari lalu saat ia berangkat ke Hawaii. Tadinya ibu bahkan memohon agar hanya 5 tahun saja karena kasihan padanya, tapi menurut ayahku, 17 tahun belum cukup untuk bisa berpikir dewasa dan nggak lagi mengulangi kebodohannya.” jelasnya ketus. Mata Megumi seketika terbelalak lebar karena teringat sesuatu saat mendengar penjelasan Ryeowook, yang membuat pria itu kembali menambahkan… “Oh, melihat ekspresimu, kurasa kamu juga bahkan lupa kalau 3 hari lalu adalah ulang tahunnya yang ke-22… yang berarti ulang tahunku juga sih.”

“Sudah… cukup. Jangan pojokkan… Megumi lagi… Wook-ah…”

Seketika semua mata tertuju pada satu titik begitu sebuah suara lemah terdengar di antara mereka. Kibum! Biarpun bukan mukjizat sih, karena seperti kata dokter, Kibum pasti akan terbangun setelah biusnya habis nanti. Lukanya tidak begitu serius—sepertinya airbag mobil yang ia pinjam bagus sekali—makanya sejak awal juga Ryeowook tenang-tenang saja saat ‘Minmi’ menyambutnya tadi. Tapi tetap saja… ribut-ribut pun sekejap tertunda karena ketiga orang yang ada di situ langsung berlomba-lomba menghampiri ranjang rawat Kibum.

“OPPA!”

“Kibum-ah!”

“Kibum!”

Kibum tersenyum lemah melihat pemandangan di hadapannya, yang biarpun dengan perban membebat dahinya, tapi senyum itu masih terlihat begitu manis bagi Megumi. Sudah pernah ia bilang kan? Ia selalu suka senyum Kibum. Dan melihatnya masih mampu bangun dan tersenyum seperti ini, rasanya sungguh  seperti tak ada lagi yang ia harapkan.

Satu per satu pandangan Kibum pun terhenti di setiap wajah dari tiga orang yang mengelilinginya tersebut. Dan begitu sampai pada wajah Megumi, biarpun sepertinya agak tak sopan, tapi dengan lemah ia segera meminta kedua saudaranya keluar sebentar dan membiarkan mereka bicara empat mata terlebih dulu.

“Apa-apaan? Ogah! Kibum-ah, dia—“

“Wook-ah…” Kibum hanya mampu memanggil nama kembarannya dengan nada memohon, yang segera dipahami oleh sang adik, Saera.

“Wookie, ayo kita keluar.” ajaknya seraya mengitari ranjang rawat Kibum demi mendekati kakak (yang tak pernah ia anggap kakak)-nya itu. Biarpun harus menyeret, gadis 21 tahun itu pun buru-buru menarik lengan Ryeowook demi membiarkan pasangan yang ada disana menyelesaikan masalah apapun yang ada di antara mereka saat ini juga.

BLAM. Menatap pintu kamar kelas 1 yang normalnya berkapasitas 2 pasien itu (untungnya kali ini Kibum menempatinya sendirian) menutup, keduanya pun kini beralih ke satu sama lain lagi. Dipandangi Kibum seperti itu, Megumi refleks berkata gagap, “M-Maaf… telah membuatmu terluka begini, aku sungguh lega kamu bisa kembali sadar, aku—“

“Sssttt. Can’t I have a hug first?”

Menolak mendengar lebih lanjut, penuh senyum Kibum berusaha keras mengangkat kedua lengannya, meminta sebuah pelukan seperti yang ia katakan.

Tertawa kecil, Megumi perlahan mengangguk seraya menghambur hati-hati menuju kedua lengan orang yang baru ia sadar tak pernah berhenti ia cintai itu. Ia hanya dibutakan oleh rasa sakit hati, yang kini, setelah mendengar apa yang sebetulnya terjadi—atau sepertinya bahkan sebelum itu pun—semuanya hilang sudah…

***

 

“Jadi sekarang ada yang bisa jelaskan pada kami apa yang sebetulnya terjadi?”

Ryeowook menyilangkan kedua tangannya menatapku dan Megumi dengan mata menyipit, penasaran setengah mati begitu aku kembali memperbolehkan mereka masuk. Di sebelahnya, Saera ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

Aku dan Megumi sukses saling pandang satu sama lain, nyengir. “Itu… eng… panjang ceritanya…”

“Cerita saja, kita punya banyak waktu kok.”

Klek. Tiba-tiba pintu kamar rawatku pun sudah terbuka kembali, yang disusul masuknya penjengukku yang ketiga hari itu. Melihatnya, otomatis kami semua sukses mengernyit berjamaah. Well, kecuali Saera tentunya.

“Oppa…!” lengking adik termudaku itu senang seraya langsung menghambur memeluk lengan berjaket kulit sang pacar.

Ya, tamu ketigaku ternyata adalah dia. Eunhyuk, pacar Saera itu tersenyum seraya melepas aviator-nya melihat sang pacar. Baru sadar dengan keberadaan orang-orang lainnya disitu, baru ia segera mengangkat sebelah tangannya, “Eh, hai, Kembar. Halo, Merisa. Apa kabar Greg dan Fany?”

Sementara itu, tiga orang yang disapa termasuk aku masih hanya bisa melongo kedatangan penghuni kebun binatang (monyet, maksudnya) pemilik senyum gusi itu. Ryeowook mengarahkan telunjuknya menunjuk si sepasang lovey-dovey seraya berkomentar nyinyir, “Harus ya dia bahkan ikut sampai ke Jepang sini, Kim Saera??”

_____

 

“Oh, jadi gitu…”

“Gitu doang masalahnya???”

“Situ kesini tuh, masalah!”

Ryeowook dan Eunhyuk kini sudah berpandang-pandangan sambil mencibir satu sama lain, akibat kalimat terakhir yang diucapkan Ryeowook tadi. Aku buru-buru mengernyit menatap mereka, ada apa sih dua orang ini??

“Iiihh, apaan sih, sudahan ah!” lerai Saera yang secara tidak kebetulan berada di tengah mereka. “Oppa, oneechan, maaf ya. Selama kalian pergi memang sempat ada insiden di antara mereka—“

“Jadi dengan sengak dan pedenya, si monyet satu ini memproklamirkan diri di depan semua orang kalau dia lebih ganteng dari aku, seorang Kim-Ryeo-wook! Cih, jelas-jelas satu-satunya yang bisa menyaingi ketampananku cuma kamu kan, Bum, itu juga karena kita kembar!”

“Yeee, memang aku yang lebih ganteng! Makanya ngaca, dilihat dari ujung Namsan Tower juga—“

“Eeeh, serius ya anak ini. Mau mulai lagi? Ayo kita voting—“

“Voting apaan sih.” Biarpun segera, suara datarku yang biasa (dan mungkin karena aku masih begitu lemah jadi sedikit terdengar nuansa ‘serak-serak-horor’ di dalamnya) segera membuat ribut-ribut mereka terhenti. Kedua orang itu seketika diam dan menunduk pelan, mungkin berpikir: orang gagu biasanya kalau marah menyeramkan, apalagi kalau dengar orang ribut di saat ia sakit begini??

“Nah, begitu lebih bagus.” Saera menepuk tangannya puas menatap sang kakak dan sang pacar bergantian. “Oppa, oneechan, ayo silakan lanjut ceritanya.”

Aku dan Megumi awalnya malah berpandang-pandangan bingung diminta begitu (tadi sampai mana ya?), sebelum akhirnya, tersenyum pahit, Megumi kembali menatap 3 orang di hadapan kami. “Yah… begitulah. Padahal awalnya aku yang ingin ‘menyiksa’ Kibum… tapi malah jadi aku yang lebih ‘tersiksa’. Ternyata dia terus mengingatku, terus berjuang untukku dan juga MeguKi #1. Tapi aku tetap menutup mata dan telinga, dan itu sungguh menyakitkan… hidup dengan pikiran-pikiran buruk kita sendiri. Apalagi ketika kini, aku mendengar semuanya…”

Diam tiba-tiba merebak di antara kami mendengar pengakuan yang terasa begitu jujur dari Megumi. Merasa tiba-tiba jadi pusat perhatian, si gadis Jepang pun jadi salting sendiri, “E-eh… kenapa? Aku ada salah ngomong—“

“Bagaimana dengan sekarang?”

“Eung?” Megumi perlahan menoleh ke sisinya, di ranjang pasien tempatku yang baru saja kembali menjadi kekasihnya itu bersandar pada sebuah bantal.

“Kamu tadi belum bilang tentang ini…” tatapku dalam padanya. “Bagaimana dengan sekarang? Apa aku masih menyiksamu?”

Tertegun, sebelum Megumi cepat menggeleng dalam tundukan, “Nggak, kamu nggak pernah menyiksaku. Seperti yang aku bilang… ini senjata makan tuan. Ternyata semua memang hanya ada di pikiranku. Ternyata pasti memang ada alasan kenapa kalian tiba-tiba menghilang dan nggak pernah memberi kabar sekalipun… Serius aku bodoh sekali. Ini namanya penyiksaan diri sendiri.” Ia mengangkat kepalanya, kini balik menatapku, tersenyum. “Selama ini aku selalu ingin kamu menderita… Tapi lihatlah, di saat kamu benar-benar sakit seperti ini, aku justru nyaris gila. Kurasa aku terlalu mencintaimu.”

Sekejap, tamu-tamu di dalam kamarku pun sukses memberi respon campur-campur. Saera si bawel yang (sebagai cewek) pastinya suka sekali dengan cerita beginian, langsung menangkupkan tangannya dan berseru, “Aaaawwww~”, sementara si kucing dan anjing, Ryeowook dan Eunhyuk kini kompak merespon mual, “Bleh.”

Namun kali ini, harus kuakui kalau aku akhirnya harus sepakat dengan Saera. Pengakuan jujur Megumi terdengar begitu manis di telingaku.

***

 

3 hari setelahnya,

Aku kini sudah begitu sehat, kemarin bahkan aku sudah diperbolehkan pulang dari RS. Setelah berbagai macam tes seperti MRI dan CT, kepalaku dinyatakan tidak apa-apa, memar hasil operasi akibat benturan saat kecelakaan mobil itu juga sudah mengempes dan proses pemulihanku terpantau begitu pesat. Perban yang tadinya melilit kepalaku kini bahkan sudah berganti menjadi hanya sebuah plester sebesar lakban untuk menutup bekas jahitan di pelipisku. Alih-alih seperti korban kecelakaan mobil, aku betul-betul hanya terlihat seperti remaja yang habis tersandung dan kepalanya benjol saja. Kurasa energi untuk bicara yang selama ini tersimpan dan jarang terpakai di tubuhku akhirnya terkonversi menjadi energi penyembuh yang membuatku cepat pulih ketika sedang sakit seperti ini.

“Ibu, kami jalan-jalan dulu!”

Megumi berseru dari teras rumahnya seraya masih menyempurnakan pemakaian sepatu kanvas-nya sambil berdiri. Aku mengulurkan sebelah lenganku sebagai pegangan, yang dengan cepat disambarnya. Aku sendiri sudah siap dan sempurna dengan tampilan jalan keluar kali ini: jaket dan kupluk pinjaman ayah Megumi untuk menghalau beku musim dingin, dan hanya sepatu yang milikku sendiri.

Ya, sejak keluar dari RS kemarin, aku memang akhirnya tinggal di rumah keluarga Minakami. Uangku (dan uang Ryeowook dan Saera yang juga ikut menyumbang) habis untuk mengganti mobil anak Pak Dubes, dan aku sama sekali tak punya muka untuk kembali muncul di Kedubes, apalagi di depan Pengurus Han yang sudah mempercayakan mobil itu padaku. Di saat itu Megumi menawarkan untuk tinggal di rumahnya, yang aku terima dengan senang hati. Toh dulu aku juga sering menginap disini kalau sedang mengerjakan proyek klub robot bersamanya.

“Yap, selesai!” melompat-lompat dua kali untuk memastikan sepatunya sudah terpakai dengan nyaman, Megumi kini menarik lenganku yang sedari tadi masih dipeganginya, tak sabar keluar. Sebelum aku pulang dari RS, dokter memang menitip pesan kalau sebaiknya aku rutin melakukan latihan-latihan kecil seperti jalan pagi untuk mempercepat pemulihanku, dan itulah yang akan kulakukan dengan Megumi sekarang. Tapi… tunggu. Sepertinya aku melihat kejanggalan dari penampilannya…

“Kamu mau keluar pakai kacamata itu?” Akhirnya aku menemukannya. Keanehan itu. Megumi sama sekali tidak melepas kacamata besar berbingkai coklat—kacamata kuda—yang seharian dipakainya di rumah untuk keluar!

Ia menatapku balik, “Memangnya kenapa? Aku kan sudah nggak perlu berubah jadi orang lain lagi di hadapanmu. Dan kalau di hadapanmu pun aku sudah nggak perlu berubah lagi, berarti nggak ada lagi yang perlu aku takutkan. Aku nggak peduli orang lain berkata apa.”

Seketika aku tertawa seraya geleng-geleng kepala, “The moon and the weather may change together. But a change of the moon, will not change the weather.”

Aku menggumamkan kalimat itu seraya dengan santai mulai berjalan sendirian, kedua lengan kusilangkan santai di belakang kepala. Sajak itu berarti: ‘pergantian bulan dan perubahan cuaca bisa saja terjadi bersamaan, namun tidak berarti pergantian bulan menandai terjadinya perubahan cuaca’. Itu adalah salah satu sajak cuaca favoritku, bahkan, fenomena yang dijelaskannya begitu simpel namun dirangkai dengan kalimat yang begitu indah. Aku baru sadar kalau kata-kata itu sangat persis dengan kami.

Tahu pasti tentang sajak yang kumaksud, ia pun segera mengejar, “Maksudnya? Jadi sekarang aku bulan, dan kamu cuaca, gitu?”

“Sadar?” godaku. “WellThe moon and the weather may change together. Kita sama-sama berubah; bertumbuh besar, sama-sama menjadi dewasa. But a change of the moon, will not change the weather. Tapi mau kamu berubah kayak apa juga, itu semua nggak akan mengubah perasaan aku buat kamu. Mau pakai kacamata kuda atau pakai dress, buktinya aku tetap bertekuk lutut.” Aku menjelaskan, sebelum akhirnya berhenti berjalan di hadapan sebuah pohon sakura pinggir jalan, masih tak jauh dari rumahnya. Pohon sakura itu kini tinggal rantingnya saja, sebagian bahkan tertutup salju. Megumi ikut berhenti dan menoleh menatap pohon itu.

“Kamu dulu juga pernah bilang hal yang serupa, kan? ‘Langit mengajarkan kita untuk tetap teguh dengan pendirian, sedekat apapun orang lain mempengaruhi kita’.” ujarku, masih menatap pohon dengan batang dan ranting berwarna hitam itu seakan dia yang kuajak bicara. Gadisku sendiri kini bahkan sudah menatapku kebingungan setengah mati, menerka-nerka apa yang akan kukatakan (atau kenapa aku malah bicara dengan sebuah pohon?). Tertawa kecil, aku pun akhirnya menoleh, menatapnya dengan senyuman. “Oleh sebab itu, aku juga akan tetap teguh. Apapun yang terjadi, ‘cuaca’ ini akan tetap menyayangi ‘bulan’. Selalu. Selamanya.”

Diam. Aku menatapnya baik-baik, tersenyum melihat perubahan warna pipinya dari bersemu pink menjadi merah padam. Seperti tak tahu harus berkata apa, ia akhirnya berucap, “Itu… pertama kalinya aku dengar kamu ngomong sepanjang itu…”

Aku tertawa seraya mengacak-acak poni samping dari rambutnya yang diekor kuda. Bukan respon yang kuharapkan, sih, tapi perkataan seperti itu… aku seperti merasakan sosok ‘Megumi’ yang telah terlebur bersama sosok ‘Minmi’. Kata-kata itu adalah kata-kata Megumi yang blak-blakan dan tak pernah berpikir panjang, namun diucapkan dengan gaya dan nada bicara Minmi yang manis dan feminin. Gadis ini… sekarang aku telah betul-betul resmi kehilangan ide untuk bisa berhenti menyayanginya.

_______

 

“Oh ya, Gimana Se-chan dan Ryo-chan? Sudah sampai dengan selamat? Padahal sudah lama nggak kemari, tapi cepat-cepat pulang begitu…” tanya Megumi seraya kami lanjut berjalan-jalan, bergandengan tangan menyusuri jalanan di lingkungan rumahnya (dan rumahku yang dulu, tentu saja) yang seluruhnya berwarna putih karena salju. Terlihat sekali subuh tadi jalanan ini baru dikeruk, karena di kanan-kirinya, gundukan salju terpajang di sepanjang jalan.

Aku mengangguk-angguk, mengiyakan tanyanya. Kedua saudaraku memang langsung pulang ke Korea begitu aku diputuskan boleh pulang kemarin, dan sore itu juga mereka sudah tiba di Korea. Oh ya, Se-chan adalah panggilan Saera sewaktu kami masih kecil disini. Orang-orang Jepang begitu praktis, ya. Susah mengucapkan, nama kami pun sukses disingkat hingga menjadi panggilan yang begitu imut. (Walaupun sesungguhnya bukan ‘aku’ sekali, beda dengan Ryeowook yang sangat amat menikmati masa-masanya di Jepang hanya karena disini ia bisa dipanggil dengan panggilan seperti itu.)

“Kenapa mereka langsung pulang?” Ia kembali mencecar, kini bahkan sampai menarik lengan jaketku hanya agar aku menatapnya segala. Sepertinya ia memang kurang puas kalau belum memaksaku mengeluarkan setidaknya satu kata.

“Kacamatamu turun, tuh.” komentarku, menyentil tengah kacamatanya sebelum akhirnya menyerah dan menjawab, “Yah, mereka juga punya urusan, kan.” Aku mengedikkan bahu sebelum pura-pura memejamkan mata untuk menghirup udara pagi yang segar ini dalam-dalam, memenuhi paru-paruku sembari kembali berjalan. Aku memang tidak memberitahunya tentang insiden ATM terkuras berkat mobil-anak-Pak-Dubes yang akhirnya membuatku hutang moral dan material pada dua saudaraku itu. Karena akibat membantuku itulah mereka akhirnya terpaksa hanya bisa berada di Jepang sebentar saja. Tak ada tabungan lebih untuk lanjut dengan berlibur, terutama bagi Saera yang tak akan tahan berada di suatu negara lain tanpa belanja ‘oleh-oleh’.

“Oh begitu.” responnya. “Um… Oh ya, tanya lagi. Aku baru ingat, karena kemarin masih ada Ryo-chan dan Se-chan aku belum jadi tanya…” Ia tiba-tiba menahan tanganku yang digandengnya, isyarat agar berhenti. Aku betul-betul menghentikan langkah dengan sepatu keds-ku, menoleh bingung. “Kejadian kamu membobol brankas ayahmu… betulan terjadi seperti itu…?”

Segera saja senyum terkulum di bibirku, “Hanya demi kamu, maksudnya?” tanyaku ringan, tahu apa yang ada di pikirannya. Megumi buru-buru menunduk dengan pipi digembungkan, sedikit demi sedikit semburat pink muncul dari kedua bagian wajah di balik kacamata jumbo-nya itu. Aku makin tak kuasa menahan diri untuk tak tersenyum begitu lebar. Ia malu, yang berarti tebakanku tepat! “Ya ampun, kenapa sih kamu manis sekali?” tanyaku heran campur gemas, dan tanpa sadar… CUP! aku sudah mencium pipi kanannya begitu saja.

Seketika ia melongo… biarpun segera disambung dengan pelototan, sih, kesal karena aku malah mencandainya.

Aku makin tertawa, Ini balasan ‘ciuman kejutan’ waktu itu!, pikirku seraya terburu-buru kabur karena melihat Megumi kini bahkan sudah nyaris melepas sepatunya untuk menimpukku, bercanda. Hahaha, kapan terakhir kali kami seperti ini? Ini seperti masa lalu; bercanda, berlarian di pinggiran sungai dengan Megumi yang ‘bebas’, Megumi si kecil yang polos dan tak perlu berpura-pura…

Kami pun akhirnya sampai. Sambil menariknya turun ke tempat pejalan kaki yang sengaja dibuat di pinggir sungai, tempat banyak orang lain jogging maupun hanya jalan pagi seperti kami ini, aku pun akhirnya mengiyakan tanyanya tadi, “Iya, itu betul kok. Lebih parah bahkan, melibatkan polisi segala makanya appa begitu murka. Tapi ya sudahlah, sudah lewat.” Aku tersenyum dan menyilangkan tanganku di dada, kembali berjalan santai di atas jogging track menghadap matahari terbit yang mulai menyilaukan. Mengingat lagi kejadian bodoh masa lalu di saat sudah dewasa selalu membuat kita merasa konyol. Apa yang kita pikirkan saat itu sampai bisa-bisanya melakukan hal-hal gila macam begitu?

Sadar sudah ditinggal, gadisku buru-buru mengejar, “Polisi? Serius?? Cerita, cerita!” pintanya seraya menarik-narik punggung jaketku.

Memicingkan mata karena silau, aku akhirnya menoleh untuk menatapnya yang berbeda tinggi sekitar 10 cm denganku itu, “Um…”

 

10 tahun lalu,

“AAAAAA…!!” sebuah teriakan berat seorang pria seketika memecah keheningan pagi hari di kediaman keluarga Kim. Sekejap, seluruh penghuni rumah itu termasuk nyonya rumah, pembantu, dan putra-putri remaja Kim yang masih tertidur pun terbangun, dan tergopoh-gopoh berlarian menuju sumber datangnya suara… ruang kerja sang tuan rumah, Diplomat Kim Jihoo.

“Sayang, ada apa? Kamu kenapa? Pagi-pagi teriak, anak-anak jadi bangun semua…”

“ISTRIKU!!” pria yang tadi berteriak itu, yang ternyata adalah si tuan rumah sendiri buru-buru memotong pertanyaan sang istri. Pria yang di pagi buta itu terlihat sudah rapi dengan setelan jasnya menunjuk-nunjuk brankas hitam yang sudah terbuka di meja di belakangnya. Terlihat beberapa dokumen yang dibungkus map, amplop-amplop, serta sejumlah kotak perhiasan di dalam situ, pemandangan tipikal sebuah brankas… apa yang salah? “Dollar kita! Kamu tahu kan kita menyimpan 10.000 dollar di brankas kalau-kalau nanti ada kebutuhan yang tidak diduga? Sekarang, itu tinggal setengahnya! 5.000 dollar kita hilang, Sayang!!”

“Ya ampun, 5.000 dollar saja… Itu kan uang receh buat appa.” Mendengar apa yang terjadi, si sulung Heechul segera nyeletuk seraya menguap dan menggaruk-garuk kaos oblongnya. Melihat rambut gondrongnya yang acak-acakan, sepertinya si 16 tahun ini baru saja bangun dari tidurnya.

“Heechul!” tegur sang ibu. Remaja kurus berkulit seputih salju itu hanya mengedikkan bahunya tak peduli seraya beranjak pergi, kemungkinan besar kembali tidur. Masalah uang bukan urusannya. Menggeleng-gelengkan kepala sebentar melihat kelakukan putranya, sang ibu dengan cepat kembali pada suaminya, “Kamu yakin?? Mungkin pernah kamu pakai… Coba kamu ingat-ingat dulu…”

Diplomat Kim Jihoo menggeleng, “Mana pernah… Ini saja baru aku buka sebelum berangkat kerja karena permintaanmu kemarin, untuk biaya pindah sekolah anak-anak… Ya Tuhan, ini pasti pencuri! Kita harus panggil polisi!

Betul, appa! Ini pasti kerjaan pencuri! Kita juga harus panggil pengacara!” Putra ketiga, Jongwoon si kelas 3 SMP mengompor-ngompori, yang buru-buru disambut cubitan sang ibu di pinggangnya. Remaja tanggung yang memang bercita-cita jadi pengacara itu (biarpun dewasa nanti akhirnya malah ‘kecemplung’ di Akademi Polisi) meringis, biarpun itu tak menghalanginya untuk sedikit demi sedikit menyingkir dan mengambil telepon wireless mereka, siap-siap kalau ayahnya nanti membutuhkan.

Tapi si nyonya rumah masih terlihat kurang setuju. Sambil memeluk si bungsu Saera yang baru bangun karena mendengar ribut-ribut, beliau berargumen, “Bagaimana kalau kita selidiki secara kekeluargaan dulu… Siapa tahu orang dalam, pembantu atau karyawan yang lain yang mengambilnya, buktinya yang diambil hanya sebagian kecil, bukan? Jika ia pencuri pasti semuanya sudah digasak—”

“Justru itu!” Bantah suaminya keras. “Orang dalam atau bukan, dia pencuri! Dan dia harus diberi pelajaran! Jongwoon, panggil polisi dan pengacara!!”

NGIUNG NGIUNG NGIUNGG… Tak sampai setengah jam lamanya, dua mobil polisi dari kantor polisi terdekat pun sudah mampir di kediaman keluarga Kim subuh-subuh itu. Sesuai yang ditakutkan sang ibu jika ini sampai menjadi heboh, tetangga-tetangga pun sudah sukses ikut berkerumun di sekitar rumah itu, bertanya-tanya dan saling bergosip tentang apa yang terjadi.

Di dalam rumah, satu per satu pembantu dan ajudan sang tuan pun sudah digeledah namun tidak memberikan hasil. Di saat itu, si keriting Ryeowook yang sudah siap dengan seragamnya dan sedang duduk manis menikmati sarapan di tengah hiruk pikuk pagi itu tiba-tiba menyadari sesuatu. Menghitung jumlah saudara-saudarinya yang juga sedang sarapan di meja makan yang sama, ia kemudian bertanya heran ketika menemukan sang kembaran tak berada di sana, bahkan sepertinya sejak subuh tadi awal mula keributan ini berlangsung, “Kemana Kibum?”

_______

 

“APPA…! Kibum hilang…!!”

Rasanya hari itu Diplomat Kim mau pingsan saja. Tadi pagi ia habis kecurian, dan kini putra bungsunya tiba-tiba hilang!

“APPA…! Baju-bajunya juga nggak ada…!!”

Beliau makin stres. Apa anaknya kabur??

Biarpun… Baju? Memang dari kecil sudah kritis, hanya ada satu hal yang langsung terbersit di kepala si 11 tahun Saera begitu mendengar bahwa kakak kesayangannya pergi sampai membawa baju juga. Hal yang dari kemarin juga sudah sering ia gumamkan untuk dilakukan… “Ah! Bandara. Ke Jepang.”

Benar saja, begitu sang ayah beserta sebuah satuan polisi mencari ke bandara Gimpo tempat berbagai penerbangan domestik maupun jarak dekat internasional dilakukan, Kibum remaja pun segera ditemukan tengah menanti penerbangan paginya. Ke Jepang, sesuai tebakan Saera. Memakai jaket, topi baseball, dan hanya mencangklong sebuah ransel, Kibum yang menggenggam paspor dan tiket pulang-pergi Korea-Jepang-Korea atas namanya terlihat kaget begitu menemukan ayahnya juga berada disana, juga bersama polisi. Awalnya sang ayah tak ingin percaya, tapi hasil penggeledahan ransel Kibum menunjukkan bahwa tak hanya berisi beberapa baju dan cemilan, tetapi di dalam ransel itu juga ditemukan… sebuah amplop berisi uang $1.000, beberapa puluh ribu won dan yen, dan sebuah slip penukaran dari money changer. $4.000…

Ia bersikeras seorang pencuri telah memasuki rumahnya; bahkan sampai memanggil polisi, pengacara, dan menggeledah karyawannya… ternyata pencuri itu tak lain adalah putranya sendiri. Putranya yang tak akan pernah ia kira kalau bakatnya dalam bidang teknik dan robotika, ternyata termasuk mencongkel brankas milik orangtuanya dengan begitu rapi dan profesional.

________

 

“…tahu nggak aku belajar kutak-kutik brankas dari mana?” tanyaku. Ia menggeleng cepat-cepat, yang segera kubalas dengan seringai seraya berbisik di telinganya, “Youtube.”

Tak menunggu reaksinya, aku kembali melanjutkan, “Tapi yah… begitulah, akibatnya ya ayah murka luar biasa. Rasa malu yang harus ia tanggung di hadapan polisi dan tetangga…” gantungku seraya tersenyum geli. Agak ironis sih, sekarang mungkin aku bisa menertawakan kejadian itu dengan begitu leluasa, padahal di masa itu sendiri… kalian tidak akan bisa mengira bagaimana takutnya aku, jangan-jangan ayah bahkan akan mencoretku dari daftar anak. Bagaimanapun anaknya juga masih banyak, bukan?

“Whoa… daebak.” Biarpun nostalgiaku seketika teralih, ketika kulihat Megumi yang kini malah memasang wajah kagum. Matanya membelalak dengan mulut terbuka, tak sanggup membayangkan betapa hebohnya kekacauan yang sudah kubuat bahkan ketika aku masih kecil. “Terus akibatnya, ayahmu akhirnya membekukan paspormu sampai 10 tahun itu??” Tebaknya.

Aku mengangguk pasti. Itu betul sekali, beliau tahu hal yang paling kuinginkan adalah kembali ke Jepang, makanya ia sampai menggunakan kekuatannya di Kementerian Luar Negeri segala. Begitu niat agar aku kapok.

“Jadi sekarang, apa rencanamu?”

Sembari melihat-lihat orang-orang yang jogging di sekeliling, kini giliranku yang bertanya pada Megumi, setelah beribu macam bercandaan dan obrolan ngalor-ngidul yang kami bicarakan. Tentang keluarga, tentang teman-teman di sini, tentang masa lalu… tentang semuanya.

Ia mengayun-ayunkan tangan kami yang bertautan selagi berjalan, “Entahlah. Aku belum tahu…” Katanya ragu-ragu. Awalnya aku hanya bertanya santai, tapi dari caranya menjawab, sepertinya Megumi memang sedang betul-betul dipusingkan karena hal ini. Tadi mungkin ia sempat lupa… tapi aku malah mengingatkannya lagi. “Hwang Minmi atau Minakami Megumi… Keluarga Hwang atau kembali ke keluargaku yang sesungguhnya.”

“Fany dan Greg sudah pulang ke Hawaii, jadi kurasa seharusnya aku nggak perlu begitu khawatir dengan mom and dad, sih…” Sambungnya. “Sebetulnya aku bisa kuliah ke Seoul pun karena waktu itu juga Jason sudah pulang—Oh, kamu ingat Jace, kan? Kakak keduaku, adiknya Greg.” Ingatnya. Aku mengangguk ringan. Ia pun kembali melanjutkan seraya terus berjalan, mengayun-ayunkan kedua tangannya yang tertaut di depan tubuhnya. “Yaah… tapi biarpun begitu, tetap saja, kan… Bagaimanapun aku nggak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Hah… jadi bingung.”

“Krisis identitas.”

Megumi buru-buru memicingkan mata padaku yang barusan, seperti biasa melontarkan komentar datar namun tanpa kusadari, menohok. “Cih, nggak membantu.” cibirnya.

“Aku bisa bantu, kok.”

“Apa?”

Sama sekali tidak bercanda, aku berujar, “Keluarga Hwang atau keluarga Minakami… Bagaimana kalau menikah dan masuk keluarga Kim saja?”

END

So, howww????? Menurut kalian, menurut kalian, apakah aku memang pantas ditolak, atau aku justru ga boleh nyerah dan usaha lagi? (mencari pembelaan hehehe :p) Kritik dan saran yaaa~~~~  see u when i see u! *kiss*

 
4 Comments

Posted by on February 21, 2014 in Super Junior, [THE SERIES]

 

Tags: ,

4 responses to “[THE SERIES] BAHASA LANGIT – Part 6 (END)

  1. upikipik

    February 21, 2014 at 6:19 pm

    Oraen manida, eonni~
    Aku mau jujur-jujuran aja deh

    Menurutku, bagian penyelesaian penyelesaian masalahnya terlalu simpel. Terutama waktu Megumi akhirnya tahu kebenarannya dan langsung baikan ama Kibum. Kesannya terlalu gampang.. u,u

    Tapi aku suka banget sama karakter akhirnya Megumi. Perpaduan Minmi-Meguminya sip banget.
    Endingnya bagus 😀
    Terus, paragraf terakhirnya: CUCHOK! :3

     
    • lolita309

      February 22, 2014 at 9:33 pm

      Hahaha begitukah u.u tapi iya sih aku juga sadar.. Ah masih begitu banyak yg harus diperbaiki dariku. Aku harus semangat!! Maaci yaaa kritiknya^^

      Hehe tp ternyata ada pujiannya jg. Ih maaci maaci my lovely dongsaeng! Maaci yaaa uda bacaaaa *kecup* 😀

      Sent from my BlackBerry®
      powered by Sinyal Kuat INDOSAT

       
      • upikipik

        February 24, 2014 at 12:29 am

        naskahnya “diendepin” aja dulu, yang lamaaa gitu. Ntar baru diedit lagi 😀

        iyups, sama” eonni. Selalu semangat! ^^
        muah juga! :*

         
      • lolita309

        February 24, 2014 at 7:25 am

        Ini bukannya uda diendepin lbh dr setaun? Hihihi gpp ko, I think I just need a lot more effort, dan terus belajar! 😀
        Sent from my BlackBerry®
        powered by Sinyal Kuat INDOSAT

         

Leave a reply to lolita309 Cancel reply